Beranda | Artikel
Dua Isu Yang Menyerang Keluarga Muslim
Jumat, 13 April 2018

DUA ISU YANG MENYERANG KELUARGA MUSLIM

Sejak Islam muncul pertama kali sebagai risalah Ilahi terakhir, musuh-musuh Islam di sepanjang masa dan di manapun mereka berada, senantiasa mengintai dan menunggu-nunggu kesempatan untuk melancarkan ancaman-ancaman terhadap kaum Muslimin dan menempuh segala cara guna menjauhkan umat Islam dari agama mereka. Di antara cara yang ditempuh para musuh Islam, baik dari kalangan orang-orang kuffar maupun orang-orang yang menjadi corong mereka di negeri Islam ialah melalui pencorengan syariat Islam di mata kaum Muslimin agar keragu-raguan terhadap kebaikan syariat Islam hinggap di hati umat. Termasuk di dalam usaha mereka adalah melontarkan tuduhan-tuduhan buruk terhadap aturan syariat yang berkaitan dengan  keluarga dalam Islam.

Islam sangat menghendaki terbentuknya keluarga Muslim yang baik dan menginginkan bertambah banyaknya generasi Islam melalui pernikahan yang syar’i. Hal ini bertujuan agar anak-anak Islam dapat hidup bersama kedua orang tua mereka dan meraih kehangatan, perhatian dan kasih-sayang mereka dengan baik.

Riset ilmiah modern telah membuktikan bahwa anak-anak yang hidup bersama kedua orang tua mereka akan menjadi orang-orang yang lebih kuat secara fisik, akal, empati daripada anak-anak yang terpisah dari orang tua.

Hikmah pernikahan dalam Islam tidak hanya terbatas pada poin penting di atas semata. Bahkan mencakup berbagai aspek kemaslahatan yang banyak, seperti memelihara kehormatan suami dan istri, memperbanyak jumlah umat Islam dan mewujudkan kebanggaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyaknya jumlah umat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sementara musuh-musuh Islam memanfaatkan beberapa isu yang terkait  dengan aturan pernikahan dalam Islam.

ISU PERTAMA DAN UTAMA, ISU POLIGAMI
Para musuh Islam dan orang-orang yang menjadi corong mereka menjadikan isu poligami untuk menyerang kaum Muslimin, utamanya keluarga Muslim. Ketika mereka tak berdaya melawan kaum Muslimin dengan cara-cara jantan melalui peperangan, mulailah mereka melancarkan tikaman terhadap Islam dan aturan-aturan syariatnya. Aturan-aturan syariat dalam Islam sebenarnya tidak ada yang berbentuk syubhat (kerancuan yang pantas dipermasalahkan) maupun memuat syubhat. Musuh-musuh Islam sangat serius untuk mengangkatnya sebagai usaha dari mereka demi mencoreng Islam.

Di antara syubhat mereka terkait syariat poligami ialah.

  1. Bahwa aturan bolehnya lelaki berpoligami dalam menikahi wanita hanya terbatas pada bangsa-bangsa yang menganut Islam dan poligami tidak berkembang kecuali pada etnis-etnis yang terbelakang dalam peradaban.
  2. Aturan bolehnya berpoligami hanyalah sekedar mengakomodasi keinginan-keinginan syahwat kaum lelaki saja. Poligami juga menghancurkan kemuliaan kaum Hawa dan mengesampingkan hak-haknya. Sebagaimana  pada syariat poligami  juga terdapat pelenyapan prinsip persamaan antara lelaki dan perempuan yang semestinya berkonsekuensi seorang suami hanya milik seorang wanita saja secara khusus, sebagaimana sang istri milik suami seorang.
  3. Poligami akan memantik perselisihan secara terus-menerus antara suami dengan istri-istrinya, dan antara sebagian istri dengan sebagian lainnya. Poligami menurut mereka juga berandil menjadi sumber perpecahan dan saling benci yang pada gilirannya akan membangkitkan suasana kacau, instabilitas dalam kehidupan rumah tangga, dan anak-anak pun sebagai eksesnya akan hidup dalam suasana yang tidak kondusif.
  4. Poligami itu menghinakan derajat wanita.

Telah disebutkan di muka, bahwa pernyataan-pernyataan di atas tidak benar adanya. Pernyataan-pernyataan tersebut hanyalah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan untuk menggocang kepercayaan umat Islam terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla . Untuk itu, harus ada sanggahan-sanggahan untuk mematahkan syubhat-syubhat tersebut yang terkadang ditelan mentah-mentah oleh sebagian orang dari kaum Muslimin.

Sanggahan Pertama:
Islam memperbolehkan praktek poligami, tidak memerintahkannya dengan perintah khusus juga tidak mendorong untuk melakukannya. Di sini, harus dibedakan antara kata ‘memperbolehkan’ dan ‘memerintahkan’. Islam membuka pintu poligami sebagai solusi untuk sekian banyak masalah sosial yang menjadi dampak dihalang-halanginya praktek poligami atau pelarangannya. Dengan demikian, ketika dibuka pintu poligami sebenarnya ada unsur perhatian terhadap fitrah manusia yang masih lurus yang membutuhkannya.

Sanggahan Kedua:
Islam mempersyaratkan adil terhadap istri-istri dalam nafkah dan muamalah. Maka, barang siapa menikah dengan lebih dari seorang istri, namun ia tidak berbuat adil terhadap istri-istrinya tersebut, ia telah berbuat dosa dalam tindakannya tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja”.[An-Nisa/4:3]

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Barang siapa memiliki dua istri, lalu ia lebih condong ke salah satunya (daripada yang lain), maka akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan sisi badannya miring”.[1]

Sanggahan Ketiga:
Ketika seorang istri ditakdirkan menjadi wanita ‘aqîm (mandul), maka poligami menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah wanita tersebut bersama sang suami yang mengharapkan keturunan dari sebuah pernikahan. Dan tidak diragukan lagi bahwa pernikahan suaminya dengan wanita lain, dan sang istri (yang mandul tadi) tetap menjadi istrinya lebih baik daripada suaminya menceraikan dirinya dan menikah dengan wanita lain, dan ia pun hidup tanpa  penanggung-jawab lagi.

Sanggahan Keempat:
Saat istri sakit atau tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai istri kepada suaminya, baik karena menderita penyakit pada fisiknya atau sebab lainnya, pernikahan suami dengan wanita lain, dan ia tetap bersama suaminya dan dalam tanggungannya itu lebih baik daripada ia bercerai dengan suami dalam keadaan tersebut. Suami akan tetapi bertanggung-jawab atas dirinya, menjaga dan memperhatikannya.

Sanggahan Kelima:
Dalam masyarakat, prosentase  jumlah wanita melebihi jumlah kaum lelaki. Berkurangnya jumlah lelaki bisa disebabkan oleh berkobarnya peperangan yang melibatkan banyak lelaki atau sebab-sebab lainnya. Masalah ini tidak memiliki solusi dari ancaman kerusakan dan finah selain diperbolehkannya praktek poligami. Sejarah telah mencatat dua perang dunia di abad 20 silam yang mengakibatkan banyak lelaki terbunuh dan jumlah wanita meningkat tajam. Demikian juga, kematian kaum lelaki banyak terjadi dalam peperangan yang berkecamuk antara dua negara. Jadi, poligami menjadi solusi masalah sosial tersebut yang sejalan dengan syariat Allâh

Sanggahan Keenam:
Sebagai penutup, sesungguhnya ketika Islam datang, praktek poligami sudah menjadi fenomena sosial yang di tengah bangsa Arab dan bangsa-bangsa lainnya. Akan tetapi, waktu itu, praktek poligami berjalan tanpa aturan pembatasan jumlah istri. Islam datang dengan memberi batasan tidak lebih dari empat wanita dan mempersyaratkan sikap adil suami terhadap mereka untuk memelihara hak dan kehormatan wanita.

ISU KEDUA , KEZHALIMAN DALAM SYARIAT TALAK
Dalam kehidupan berumah-tangga, terjadinya perselisihan pendapat atau cekcok ringan merupakan sesuatu hal yang susah dihindari. Bahkan sebagian menyebutnya sebagai bumbu dalam hidup berumah-tangga. Akan tetapi,   terkadang perbedaan yang terjadi antara mereka berdua sangat tajam, sehingga susah untuk dipadukan dan disatukan kembali. Maka, syariat talak menjadi solusi untuk memfasilitasi perbedaan yang sudah tidak terkendali dengan berpisah. Mereka berdua dipisahkan dengan baik-baik, agar masing-masing tidak menzhalimi atau menjadi pihak yang terzhalimi.

Namun demikian, musuh Islam yang memang menyimpan kebencian dan kedengkian terhadap Islam, menyerang syariat talak yang diperbolehkan Islam untuk mengurai hubungan pernikahan. Menurut akal mereka, dalam aturan talak ini, kehormatan wanita (istri) diabaikan dan talak menjadi faktor penyebab anak-anak terlunta-lunta.

Berikut jawaban terhadap opini salah mereka tentang talak.
1. Bahwa ketika memperbolehkan aturan talak, Islam tidak menyukai hal tersebut terjadi.
2. Islam lebih menyukai langkah ash-shulhu (perdamaian) antara suami-istri dan dicari terlebih dahulu solusi-solusi problematika mereka berdua, sebelum memutus tali pernikahan dengan talak. Sebab, penyebab cekcok atau pertengkaran bisa berasal dari faktor-faktor dari luar yang mengintervensi kehidupan rumah-tangga mereka. Dan masalah seperti ini masih dimungkinkan untuk dicarikan jalan keluarnya sehingga urusan rumah-tangga akan kembali normal. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh akan memberi taufik kepada suami-istri itu. [An-Nisa/4:35]

Jika semua pintu untuk menemukan jalan damai tertutup,  dan sudah tidak  mungkin lagi mereka berdua disatukan, maka talak menjadi solusi akhir bagi perselisihan mereka yang tak kunjung selesai dan kian tajam. Dan Allâh Azza wa Jalla akan memberikan jalan terbaik bagi masing-masing dari mereka.

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ

Dan jika keduanya bercerai, maka Allâh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. [An-Nisa/4:130].

Meskipun demikian, Islam memberi kesempatan bagi pasangan suami-istri untuk berpikir dan kembali merajut hubungan berkeluarga. Islam mensyariatkan adanya talak raj’i, di mana masih  suami masih mungkin merujuk istrinya tanpa mahar  atau akad yang baru, selama masih dalam masa iddah.

3. Tatkala memperbolehkan talak terjadi, dengan itu, sebenarnya Islam telah sejalan dengan fitrah manusia yang lurus dengan menjadikan talak itu sebagai jalan keluar bagi sebuah masalah sosial yang kadang terjadi lantaran perbedaan tajam dan ketidakakuran antara suami-istri, dan tidak ada cara bagi mereka untuk menyelesaikan problematika mereka itu kecuali talak. Berpisahnya mereka berdua itu lebih baik bagi mereka berdua daripada mereka mesti hidup dalam kehidupan yang sengsara, di mana masing-masing merasakan ketidaknyamanan hidup bersama pasangannya dan dampaknya akan berpengaruh pada keluarga dan karib-kerabat.

4. Anggapan para musuh Islam yang menyatakan bahwa talak akan menyebabkan anak-anak di dunia Islam terlunta-lunta tanpa harapan dan kasih-sayang, ini tidak benar. Dan tidak ada fakta yang membenarkannya. Sebab, data statistik terkait talak di dunia Islam menunjukkan bahwa kebanyakan talak itu terjadi pada tahun pertama pernikahan dan sebelum kelahiran anak-anak disebabkan oleh kegagalan dalam dalam memilih pasangan hidup. Data menunjukkan bahwa 77% kasus talak terjadi sebelum istri melahirkan, dan sebanyak 17% kasus talak terjadi setelah pasangan memiliki satu anak. Dan prosentasi talak tersebut kian menurun seiring bertambahnya jumlah anak.

Dan lagi, ketika talak itu terjadi, sementara pasangan sudah memiliki anak-anak, Islam telah menjamin kehidupan yang baik bagi anak-anak yang mesti menghadapi orang tua yang berpisah. Islam menentukan bahwa anak-anak akan hidup di bawah perawatan salah seorang dari kedua orang tuanya, dan mewajibkan nafkah atas sang ayah. Bahkan Islam mewajibkan ayah untuk memberi imbalan bagi mantan istrinya yang mengurus anak-anaknya termasuk ketika sang wanita itu menyusui anak-anak yang masih kecil. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

Dan jika mereka (istri-istri yang ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka. Dan musyarawahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. [Ath-Thalaaq/65:6]

Dan sebagai penutup, kita katakan kepada para aktifis perempuan, “Sebelum kalian bicara tentang problematika wanita dalam naungan Islam, kalian harus memulai pembicaraan dengan satu kalimat saja, ‘Bagaimanakah nasib wanita sebelum Islam datang?”. Dan kalian harus ingat-ingat betul bagaimana kedudukan dan martabah wanita  yang rendah sebelum Islam dan pada zaman pertengahan di Eropa. Bila ini kalian lakukan, kalian akan menyampaikan pengakuan kepada dunia bahwa Islam telah bersikap baik kepada wanita dan mendudukkannya di tempat yang terhormat.

Demikianlah, umat Islam harus menyakini bahwa syariat Islam itu benar dan mendatangkan  kemaslahatan sepanjang masa dan di manapun manusia berada. Karena syariat Islam berasal dari Allâh Azza wa Jalla , Dzatt Yang Menciptakan manusia dan Maha Mengetahui kemaslahatan bagi mereka.

(Diadaptasi dari al-Fiqhul Muyassaru, An-Nawazilul Mu’ashirah fi Fiqhil Usrati , Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyaar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthlaq, Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Musaa, Madaarul Wathan Cet. I, Th.1433, 11/114-118.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah. Al-Hafzih Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram pada hadits no.978, “Sanadnya shahih”.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8862-dua-isu-yang-menyerang-keluarga-muslim.html